Dampak Buruk Peristiwa G 30 S
Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 18-30 September 1965 Cor Daerah dengan Nyawanya (NCD) Sjafrie S ditugaskan untuk menyelenggarakan Kursus Mahir I dan Kursus Mahir II yang diselenggarakan di Kulim 8 km ke arah timur Kota Pekanbaru. Diawali dengan Kursus Pembina Pramuka (Kursus Dasar A dan B) di Air Tiris dan Rengat, kursus ini (M-I dan M-II) dilaksanakan berdasarkan surat perintah Operasi dari Gubernur Kepala Daerah tingkat I Riau nomor LAT/D.III/0125/1965 tanggal 31 Agustus 1965 yang harusnya dilaksanakan tanggal 10 sampai 24 September 1965.
Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 18-30 September 1965 Cor Daerah dengan Nyawanya (NCD) Sjafrie S ditugaskan untuk menyelenggarakan Kursus Mahir I dan Kursus Mahir II yang diselenggarakan di Kulim 8 km ke arah timur Kota Pekanbaru. Diawali dengan Kursus Pembina Pramuka (Kursus Dasar A dan B) di Air Tiris dan Rengat, kursus ini (M-I dan M-II) dilaksanakan berdasarkan surat perintah Operasi dari Gubernur Kepala Daerah tingkat I Riau nomor LAT/D.III/0125/1965 tanggal 31 Agustus 1965 yang harusnya dilaksanakan tanggal 10 sampai 24 September 1965.
Karena menunggu keluarnya dana penyelenggaraan maka
pelaksanaanya ditunda 8 hari menjadi 18 September sampai 2 Oktober 1965.
Tetapi karena pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa Gerakan
30 September, maka kursus tersebut terpaksa ditutup 2 hari lebih cepat
dari jadwal yang direncanakan. Disamping dampak langsung yang dialami
Gerakan Pramuka di Daerah Riau antara lain dengan dipercepatnya
penutupan Kursus Mahir I dan Mahir II; peristiwa Gerakan 30 September
1965 juga berdampak luas bagi Gerakan Pramuka di seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Gerakan Pramuka merupakan perkumpulan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961, dan peresmian/pengukuhannya dilakukan Bung Karno Presiden RI tanggal 14 Agustus 1961. Masyarakat awam beranggapan bahwa Gerakan Pramuka adalah “anak kandung” Bung Karno, sehingga Gerakan Pramuka dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September. Akibatnya, hari-hari latihan pramuka di Gugusdepan menjadi sepi, anak-anak dan orang dewasa sebagai peserta didik dan Pembina Pramuka merasa enggan mengenakan pakaian seragam Pramuka, dan enggan menghadiri latihan. Padahal Gerakan Pramuka tidak ada hubungan sama sekali dengan G 30 S. Lagi pula sejak berdirinya dan di dalam Anggaran Dasarnya, Gerakan Pramuka dinyatakan tidak menjadi bagian dari partai/organisasi politik, dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Masyarakat awam memang banyak yang tidak tahu bahwa pada saat pembentukannya telah terjadi “perebutan” antara kelompok sosialisasi di bawah Prof Dr Priyono dengan kelompok Pancasilais di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang dimenangkan oleh kelompok Pancasila dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961 tentang Pembentukan Gerakan Pramuka, bukan Pioneer Muda seperti yang diperjuangkan oleh kelompok sosialisasi/Komunis. Kondisi “tidak menentu” di lingkungan Gerakan Pramuka di Daerah Riau sebagai akibat terjadinya peristiwa G 30 S tidak berlangsung lama. Para tokoh pramuka meminta kepada Gubernur untuk menjernihkan masalah tersebut dengan upaya nyata yang dipandang efektif, yaitu melalui guru-guru dari tingkat Sekolah Dasar, SMP dan SLTA serta dosen Perguruan Tinggi. Keinginan ini dianggap oleh pemerintah Daerah Tingkat I Riau dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah tingkat I Riau selaku Kepala Markas Daerah Pertahanan Sipil/HANRA IV Riau nomor MD/IV/035/SK/65 tanggal 8 November 1965 tentang panitia Perumusan Pola Pembinaan Gerakan Pramuka di Sekolah/Universitas dengan S Panjaitan dari perwakilan Departemen P dan K Provinsi Riau sebagai Ketua, Drs Muchtar Lutfi dari IKIP Jakarta Cabang Pekanbaru sebagai Wakil Ketua, Imam Satoto Abdulkahar dari Kwarda Gerakan Pramuka Riau sebagai Sekretaris dan sejumlah dan sejumlah anggota dari berbagai Unsur seperti perwakilan Departemen Agama, Pembantu Rektor III UNRI dan UIR serta Pembantu Dekan III dari berbagai Fakultas terkait dan unsure-unsur lainnya.
Dengan adanya pola Pembinaan Gerakan Pramuka di Sekolah Dasar, SLTP dan SLTA diseluruh daerah Riau. Sementara di Perguruan Tinggi baru kira-kira 10 tahun kemudian (tahun 1975) terbentuk gugusdepan. Dengan semangat yang sama, Panglima daerah Kepolisian (PANGDAK) IV Riau Drs. Chaeruddin Nitikusumah mengeluarkan surat keputusan nomor Pol. 72/Bimas/1965 tanggal 10 Desember 1965 yang berisi instruksi pembentukan Gugusdepan Gerakan Pramuka bagi anak-anak Polisi di lingkungan Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) IV Riau dengan Panitia Pembimbing yang diketuai oleh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Sjafei Sutan Putih. Susunan lengkapnya sebagai berikut:
1.Drs. Chaeruddin Nitikusumah (AKBP): Pelindung
2.Sam Wehantauw (KP Tk I): Pengawas
3.Sjafei St Putih (AKP): Ketua
4.Sugianto (IP I): Wakil Ketua
5.H Tambunan (AIP I): Sekretaris
6.Ali Akbar (AIP I): Bendahara
7.Walijo (AIP II): Urusan Perlengkapan
Dilengkapi dengan Pembina dan Instruktur sebagai berikut:
1. Burhanuddin Labay (IP II): Pembina
2. Oesman Boestami (IP II): Pembina
3. M Soeratno (AIP II): Pembina
4. Toyip (IP II): Instruktur Teknik Radio
5. JM Ninkeula (AIP II): Instruktur BKLL
6. Soekarno (AIP II): Instruktur Olah raga
7. Kanin: Instruktur Agama Rohani
Dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah Daerah Provinsi Riau (dengan SK no. MD/IV/031/SK/1965 tanggal 8 November 1965, maka anak-anak Pramuka khususnya di Kota Pekanbaru dan di daerah Riau pada umumnya mulai bergairah lagi mengikuti latihan/kegiatan. Di sebagian besar sekolah (SD, SLTP/PGA, SLTA/PGAA) dibentuk Gugusdepan, dan anak-anak sekolah mengenakan seragam Pramuka. Keadaan semacam itu secara fisik menunjukkan bahwa Gerakan Pramuka telah “hidup kembali” di daerah Riau, meskipun kegiatan latihan belum terlaksana dengan baik, karena masih kurangnya tenaga orang dewasa sebagai Pembina Pramuka.
Sebagaimana diketahui, Gerakan Pramuka merupakan perkumpulan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961, dan peresmian/pengukuhannya dilakukan Bung Karno Presiden RI tanggal 14 Agustus 1961. Masyarakat awam beranggapan bahwa Gerakan Pramuka adalah “anak kandung” Bung Karno, sehingga Gerakan Pramuka dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September. Akibatnya, hari-hari latihan pramuka di Gugusdepan menjadi sepi, anak-anak dan orang dewasa sebagai peserta didik dan Pembina Pramuka merasa enggan mengenakan pakaian seragam Pramuka, dan enggan menghadiri latihan. Padahal Gerakan Pramuka tidak ada hubungan sama sekali dengan G 30 S. Lagi pula sejak berdirinya dan di dalam Anggaran Dasarnya, Gerakan Pramuka dinyatakan tidak menjadi bagian dari partai/organisasi politik, dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Masyarakat awam memang banyak yang tidak tahu bahwa pada saat pembentukannya telah terjadi “perebutan” antara kelompok sosialisasi di bawah Prof Dr Priyono dengan kelompok Pancasilais di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang dimenangkan oleh kelompok Pancasila dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961 tentang Pembentukan Gerakan Pramuka, bukan Pioneer Muda seperti yang diperjuangkan oleh kelompok sosialisasi/Komunis. Kondisi “tidak menentu” di lingkungan Gerakan Pramuka di Daerah Riau sebagai akibat terjadinya peristiwa G 30 S tidak berlangsung lama. Para tokoh pramuka meminta kepada Gubernur untuk menjernihkan masalah tersebut dengan upaya nyata yang dipandang efektif, yaitu melalui guru-guru dari tingkat Sekolah Dasar, SMP dan SLTA serta dosen Perguruan Tinggi. Keinginan ini dianggap oleh pemerintah Daerah Tingkat I Riau dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah tingkat I Riau selaku Kepala Markas Daerah Pertahanan Sipil/HANRA IV Riau nomor MD/IV/035/SK/65 tanggal 8 November 1965 tentang panitia Perumusan Pola Pembinaan Gerakan Pramuka di Sekolah/Universitas dengan S Panjaitan dari perwakilan Departemen P dan K Provinsi Riau sebagai Ketua, Drs Muchtar Lutfi dari IKIP Jakarta Cabang Pekanbaru sebagai Wakil Ketua, Imam Satoto Abdulkahar dari Kwarda Gerakan Pramuka Riau sebagai Sekretaris dan sejumlah dan sejumlah anggota dari berbagai Unsur seperti perwakilan Departemen Agama, Pembantu Rektor III UNRI dan UIR serta Pembantu Dekan III dari berbagai Fakultas terkait dan unsure-unsur lainnya.
Dengan adanya pola Pembinaan Gerakan Pramuka di Sekolah Dasar, SLTP dan SLTA diseluruh daerah Riau. Sementara di Perguruan Tinggi baru kira-kira 10 tahun kemudian (tahun 1975) terbentuk gugusdepan. Dengan semangat yang sama, Panglima daerah Kepolisian (PANGDAK) IV Riau Drs. Chaeruddin Nitikusumah mengeluarkan surat keputusan nomor Pol. 72/Bimas/1965 tanggal 10 Desember 1965 yang berisi instruksi pembentukan Gugusdepan Gerakan Pramuka bagi anak-anak Polisi di lingkungan Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) IV Riau dengan Panitia Pembimbing yang diketuai oleh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Sjafei Sutan Putih. Susunan lengkapnya sebagai berikut:
1.Drs. Chaeruddin Nitikusumah (AKBP): Pelindung
2.Sam Wehantauw (KP Tk I): Pengawas
3.Sjafei St Putih (AKP): Ketua
4.Sugianto (IP I): Wakil Ketua
5.H Tambunan (AIP I): Sekretaris
6.Ali Akbar (AIP I): Bendahara
7.Walijo (AIP II): Urusan Perlengkapan
Dilengkapi dengan Pembina dan Instruktur sebagai berikut:
1. Burhanuddin Labay (IP II): Pembina
2. Oesman Boestami (IP II): Pembina
3. M Soeratno (AIP II): Pembina
4. Toyip (IP II): Instruktur Teknik Radio
5. JM Ninkeula (AIP II): Instruktur BKLL
6. Soekarno (AIP II): Instruktur Olah raga
7. Kanin: Instruktur Agama Rohani
Dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah Daerah Provinsi Riau (dengan SK no. MD/IV/031/SK/1965 tanggal 8 November 1965, maka anak-anak Pramuka khususnya di Kota Pekanbaru dan di daerah Riau pada umumnya mulai bergairah lagi mengikuti latihan/kegiatan. Di sebagian besar sekolah (SD, SLTP/PGA, SLTA/PGAA) dibentuk Gugusdepan, dan anak-anak sekolah mengenakan seragam Pramuka. Keadaan semacam itu secara fisik menunjukkan bahwa Gerakan Pramuka telah “hidup kembali” di daerah Riau, meskipun kegiatan latihan belum terlaksana dengan baik, karena masih kurangnya tenaga orang dewasa sebagai Pembina Pramuka.
Sumber: Kwardariau.org
ConversionConversion EmoticonEmoticon